LANGIT DARI PUNCAK SULAWESI

Menginjak usia 40 tahun, IMPA Akasia melanjutkan ekspedisi Akasiadipara di Gunung Latimojong yang diwakili oleh Dinda Anggun Lestari ( Oryza ) dan Sofyan Maulana Akbar ( Raung ). Gunung Latimojong merupakan salah satu gunung tertinggi di Indonesia yang terletak di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Pegunungan yang berada di utara Provinsi Sulawesi Selatan ini memiliki beberapa puncak dan puncak tertinggi dari pegunungan ini dinamai Puncak Rante Mario dengan ketinggian 3.443 mdpl ( meter di atas permukaan laut ).

Rangkaian pegunungan ini bukan merupakan gunung berapi seperti gunung-gunung lain yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. Wilayah dari pegunungan Latimojong dipenuhi oleh hutan tipe Montana yang hanya bisa tumbuh pada ketinggian 2.000 hingga 3.000 meter dari permukaan laut. Salah satu desa terakhir pendakian Gunung Latimojong adalah desa Karangan yang merupakan titik awal dan terdapat sebuah sungai berair jernih yang cukup besar bernama Salu Karangan. Terdapat tujuh pos peristirahatan yang bisa digunakan para pendaki untuk beristirahat atau mendirikan tenda sebelum mencapai Puncak Rante Mario. Jalur pendakian gunung Latimojong cukup menantang, berbeda dari gunung di Jawa yang sebagian besar medannya adalah tanah, kerikil bebatuan, dan sedikit akar. Medan jalur gunung Latimojong dipenuhi akar pohon besar dan disepanjang jalurnya masih banyak lumut tebal yang menempel di setiap pohon. Tim ekspedisi melakukan pendakian pada 19 Agustus 2023 hingga 20 Agustus 2023 yang dimulai dari Desa Karangan.

Basecamp Desa Karangan – Buntu Caciling  ( Pos 1 )

Tim memulai perjalanan dari basecamp di Desa Karangan pada pukul 9 WITA. Perjalanan menuju Pos 1 ditempuh dengan waktu sekitar 1 jam 30 menit. Medan menuju Pos 1 berkarakteristik jalan bersemen dan tanah padat sepanjang 2,15 km dengan kategori landai dan beberapa tanjakan bersemen. Vegetasi dalam perjalanan ini masih berupa perkebunan. Tim sampai di Buntu Caciling pada pukul 10.32 WITA. Buntu Cacling terletak di ketinggian sekitar 1.443 mdpl.

Buntu Caciling – Gua Sarung Pa’pak ( Pos 2 )

Setelah tiba di Pos 2, tim langsung melanjutkan perjalanan menuju ke Pos 2. Jarak tempuh ke pos 2 sekitar 1 jam. Medan dari Pos 1 menuju ke Pos 2 memiliki kontur naik turun. Terdapat beberapa tanjakan dan turunan berupa tanah dengan beberapa akar pohon besar yang menyembul keluar. Selain itu, tedapat jurang yang cukup curam di tengah-tengah perjalanan. Vegetasi sepanjang perjalanan menuju Pos 2 didominasi oleh pohon tinggi besar. Sungai-sungai mengalir cukup besar juga dapat dijumpai di sini yang dapat digunakan untuk memenuhi persediaan air. Tepat pukul 11.36 WITA, tim telah sampai di Pos 2. Jarak antar Pos 1 menuju Pos 2 sekitar 1,33 km. Di Pos 2, terdapat area camp di bawah batu besar yang muat diisi 1-2 tenda bagi pendaki jika ingin bermalam.

Gua Sarung Pa’pak – Lintas Nase ( Pos 3 )

Tanpa beristirahat, tim melanjutkan perjalanan menuju ke Lintas Nase ( Pos 3 ). Medan dalam perjalanan menuju ke Pos 3 hampir sama dengan medan antara Pos 1 menuju Pos 2. Vegetasi dan jalan masih didominasi oleh pepohonan tinggi dan tanah. Hanya saja kontur dalam perjalanan menuju Pos 3 lebih terjal daripada Pos 2. Tanjakan-tanjakan yang terjal cukup menguras tenaga tim pendaki. Berdasarkan catatan tim, jarak antara Pos 2 menuju Pos 3 sekitar 0,5 km yang ditempuh selama 1 jam. Waktu tempuh yang cukup lama dibandingkan dengan jarak yang relatif dekat, namun karena kontur yang terjal menjadikan tim berjalan pelan dan berhati-hati. Pada pukul 12.36 WITA, tim telah sampai di Lintas Nase. Tidak direkomendasikan untuk bermalam di pos ini, karena area cukup miring yang hanya muat untuk 1 – 2 tenda dan tidak ada sumber mata air. Oleh karena itu, tim melanjutkan perjalanan menuju pos selanjutnya.

Lintas Nase – Buntu Lembu ( Pos 4 )

Medan perjalanan menuju Pos 4 juga masih sama dengan medan sebelumnya yang didominasi tanah yang ditambah batuan-batuan kecil dan akar-akar pohon. Dalam area ini, tim masih disambut dengan tanjakan-tanjakan yang terjal maupun tidak terlalu terjal. Hanya sedikit jalan yang landai dalam perjalanan kali ini. Vegetasi yang dijumpai pada jalur ini adalah pepohonan besar yang dibalut dengan lumut-lumut. Setelah berjalan sekitar 1 jam, tim sampai ke Pos 4. Pos 4 pada dasarnya dapat dijadikan tempat camp. Area di pos ini lebih besar daripada pos sebelumnya tetapi biasanya pendaki hanya beristirahat sebentar di pos ini karena tidak ada sumber mata air. Setelah perjalanan cukup jauh dan menguras tenaga, tim berhenti sejenak di pos ini untuk makan siang sebelum melanjutkan pendakian.

Buntu Lembu – Soloh Taman ( Pos 5 )

Pada pukul 14.03 WITA, tim melanjutkan perjalanan menuju Soloh Taman ( Pos 5 ). Karakteristik jalur pada jalur ini masih berbentuk tanah dan akar pohon. Kontur juga masih didominasi oleh jalan terjal dan sesekali dijumpai jalur landai yang tidak panjang. Vegetasi juga masih sama dengan jalur dari pos sebelumnya yang berbentuk hutan lumut. Tim menempuh jalur ini sekitar 2 jam perjalanan karena memang medan di jalur ini sebagian besar dipenuhi oleh tanjakan. Pukul 16.18 WITA, tim telah sampai di Soloh Taman. Karena waktu sudah sore, tim memutuskan untuk bermalam di pos ini. Area ini sangat cocok untuk bermalam karena areanya yang luas dan rata serta terdapat sumber mata air berbentuk sungai yang dapat dijangkau melewati jalur tepi kiri jurang dengan jarak sekitar 15 menit dari pos.

Soloh Taman –  Buntu Latimojong ( Pos 6 )

Perjalanan dilanjutkan pada hari Minggu, 20 Agustus 2023 pukul 06.32 WITA. Sepanjang jalur menuju Pos 6, tim dihajar jalur yang cukup menanjak tanpa ampun dengan karakteristik jalur berupa tanah dan akar-akar pohon. Vegetasi pada jalur ini berupa lumut dengan pohon yang tidak terlalu rapat. Jarak tempuh menuju ke pos ini sekitar 45 menit. Pukul 07.20 WITA, tim sampai di Buntu Latimojong. Area di pos ini tidak teralu luas tapi masih memungkinkan untuk dijadikan camp.

Buntu Latimojong – Telaga ( Pos 7 )

Tim melanjutkan menuju Telaga ( Pos 7 ) setelah melewati Pos 6. Karakteristik jalur dan vegetasi masih sama dengan jalur sebelumnya. Jarak tempuh menuju ke pos ini sekitar 1 jam 30 menit dengan jarak sekitar 0,8 km. Area pada pos ini sangat luas dan sering dijadikan tempat camp karena jarak menuju puncak lebih dekat namun tidak direkomendasikan karena area terlalu terbuka dan sering terjadi badai di area ini. Pos ini berada di ketinggian 3.204 mdpl. Tim sampai pada pos ini pukul 08.49 WITA.

Telaga – Puncak Rante Mario

Setelah sampai di pos terakhir sebelum puncak, tim memutuskan untuk langsung melanjutkan perjalanan tanpa beristirahat. Karakteristik jalur menuju Puncak Rante Mario berupa tanah padat bebatuan dan sedikit akar pohon dengan kontur yang menanjak dan sedikit jalur landai. Selama perjalanan menuju puncak, jalur yang dilalui terbuka dengan kanan kiri bebatuan besar dan sedikit pepohonan. Setelah berjalan sekitar 2 jam dengan jarak tempuh sekitar 1,5 km, tim telah sampai di Puncak Rante Mario, tanah tertinggi di Pulau Sulawesi. Tim yang mewakili IMPA Akasia telah berhasil menaklukan gunung ke 4 dari 7 gunung tertinggi di Indonesia. Setelah pengibaran bendara IMPA Akasia dan beristirahat di puncak sekitar 1 jam 30 menit, tim kembali turun ke Desa Karangan.

Pangewaran, ritual syukur desa karangan

Desa Kaluppini adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang yang masih menjunjung tinggi adat istiadat. Masyarakat adat Kaluppini terdiri dari lima desa yaitu Kaluppini, Rosoan, Tokkonan, Lembang dan Tobalu, sampai pada wilayah Gunung Nona ( Buttu Kabobong ). Wilayah adat Kaluppini terdiri dari tanah, hutan adat, sungai, perkebunan, perbukitan dan lain-lain yang merupakan warisan dari leluhur masyarakat adat Kaluppini. Meskipun sudah masuk di zaman modern, masyarakat Kaluppini masih sering melakukan upacara ritual yang dilakukan secara turun temurun. Salah satu ritual yang dilakukan adalah ritual tradisi Pangewaran. Ritual pangewaran merupakan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat yang diberikan di Desa Kaluppini.

Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, dahulu Desa Kaluppini memiliki tanah subur dan kaya raya dengan kekayaan alam yang melimpah seperti pertanian, peternakan, dan Perkebunan. Namun di tengah hasil yang melimpah tersebut, Masyarakat menjadi takabur dan penduduknya lupa bersyukur akhirnya diberikan sebuah musibah berupa kekeringan dan kemiskinan yang berkepanjangan. Hingga suatu ketika ada sembilan bersaudara, yang diketahui generasi To Manurun berkumpul untuk meminta pengampunan atas kesalahan yang telah diperbuat dan meminta agar diturunkan hujan. Dengan adanya permintaan tersebut, lambat laun Desa Kaluppini diturunkan hujan, mata air mulai mengalir, tumbuh-tumbuhan bertunas lagi di Desa Kaluppini. Semenjak itu, ritual bentuk syukur tersebut dinamakan tradisi Pangewaran yang sampai saat ini masih dijalankan.

Ada beberapa tempat penting yang wajib dikunjungi saat tradisi Pangewaran berlansung yakni Makam Rung dan Sumber Mata Aing Weing. Makam Rung dipercaya sebagai makam dari Dajeng, seorang perempuan yang melahirkan 9 bersaudara dan diantaranya sebagai pendiri Kaluppini. Sedangkan sumber mata air Weing adalah mata air yang hanya keluar saat dibacakan doa – doa di tradisi Pangewaran. Pada proses pelaksanaan tradisi Pangewaran, masyarakat yang ingin mengunjungi atau menghadiri tradisi tersebut, tidak diperbolehkan memakai pakaian kuning, dan bagi perempuan yang haid maupun suami istri yang tidak dalam keadaan suci dilarang mengikuti kegiatan tersebut.

Dalam pelaksanaan ritual Pangewaran, terdapat beberapa tahap yang perlu dilakukan yaitu Ma’pabangun Tanah ( pembaharuan tanah ) diadakan penyembelihan hewan berupa kerbau, sapi maupun ayam dan memanjatkan doa-doa khusus kepada Allah Swt; Ma’jaga Bulan ( menjaga bulan ) artinya mendoakan keselamatan masyarakat Kaluppini dan semua manusia baik di dunia maupun diakhirat; Ma’peong di Bubun Nase dilakukan dengan cara membakar beras ketan menggunakan bambu di sekitar sumur Nase; Ma’jaga ( menjaga seni seni tradisi Masyarakat Desa Kaluppini ) tarian yang berisi syair dan doa-doa keselamatan; So’diang Gandang ( menabuh gendang ). Ritual So’diang Gandang berarti pemukulan Gendang sebagai tanda masuknya tokoh adat dan syariat ke dalam area pelaksanaan dan disusul dengan ke luarnya gendang dari dalam masjid; Seni tradisional Ma’gandang dan Mappadendang ( memukul gendang dan menumbuk lesung ), Massemba’ ( menendang ) yakni antraksi laga tradisional; Mengunjungi Liang Wai sebagai sumur tempat pengambilan air dan mengunjungi Makam Rung; Parallu Nyawa ( penyembelihan hewan ) penyembelihan ayam, sapi dan kerbau untuk dimakan secara bersama, dan; Massima’ Tanah ( meminta kesuburan tanah ) yang dilaksanakan di hari terakhir dari tradisi Pangewaran di bukit Palli. Bukit Palli adalah awal mula peradaban di Desa Kaluppini. Ritual ini digunakan sebagai tanda penghormatan kepada leluhur.

Masyarakat Kaluppini memegang erat tradisi budayanya yang didalamnya mengandung nilai-nilai kearifan lokal. Istilah “Kasih Turutan” sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Desa Kaluppini yang memiliki arti gotong royong, kebersamaan dan kesetaraan. Kesadaran akan rasa memiliki, kecintaan, kepedulian dan kebersamaan untuk mempertahankan, merupakan perwujudan dari kegiatan ritual adat dan agama. Masyarakat Kaluppini dapat merasakan efek positif dari tradisi Pangewaran. Efek positifnya adalah masyarakat dapat merasakan keramaian, kebersamaan serta dapat mempererat tali silaturahmi sesama manusia. Masyarakat Kaluppini mempertahankan tradisi Pangewaran, juga tidak terlepas dari peran dan fungsi lembaga/pemangku adat Kaluppini yang sangat gigih untuk mempertahankan adat dan tradisinya. Selain dari pada itu solidaritas masyarakat terlihat pada saat makan bersama dengan menggunakan daun jati yang sering disebut oleh masyarakat kaluppini dengan sebutan Ma’balla dan masyarakat tidak diperbolehkan makan sebelum semuanya mendapat jatah makanan.

Dalam segi ekonomi, masyarakat Desa Kaluppini sangat loyal kepada pendatang yang akan menyaksikannya dalam artian tidak ada yang mencari keuntungan pada ritual tersebut. Dalam budaya Kaluppini, masyarakat Desa Kaluppini ketika ada tradisi Pangewaran tidak ada yang menjual sejenis makanan dan minuman. Bahkan rumah / tempat singgah bagi para pendatangpun terbuka lebar tanpa harus membayar. Mereka terbuka terhadap orang – orang yang akan menyaksikan pangewaran, entah itu keluarga ataupun tidak. Nilai kasih turutan yang dijunjung tinggi itulah yang membuat masyarakat Desa Kaluppini senang berbagi sesamanya.

IMPA Akasia

UKM Fakultas Hukum – Universitas Jember

Jl. Kalimantan No.37, Sumbersari, Jember

Jawa Timur

Email : info@impaakasia.com